Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Ampas Kopi

Sudah dua puluh tahun Kakiku masih berpijak di tempat yang kau sebut bumi Napasku masih menghirup problematika kehidupan Rumput yang kau bilang hijau ternyata fatamorgana Dialog percakapannya juga ternyata pura-pura Ambilkan aku secangkir kopi Agar aku tahu, yang pahit bukan hanya hidupku Agar aku tahu, semua akan baik-baik saja seperti kopi yang memang ditakdirkan pahit  sampai hanya ampas yang tersisa

Gadis Malang

Kira ini petaka Menjadi sendiri dan tak tahu apa-apa Masih melangkah bertahan di tengah samudera Tetap bernapas tanpa siapa-siapa Kira ini murka yang Agung Terlalu riuh badai hampir tak terbendung Tak ada bintang gemerlap yang menggoda rembulan Tetap melahirkan tanya pada jiwa-jiwa yang hilang Ada apa ini sebenarnya? "Ikuti saja alir kehidupan" katanya Meski entah ke hulu atau ke lautan lepas Aku yang bodoh tak pernah paham Ada apa ini sebenarnya? Aku ingin menjadi kawan dengan riuh gemuruh saja Agar tak lagi takut jika tiba Jiwaku sudah siap menyambut cakrawala 

Minggu Pagi Pukul Sepuluh

Dari mana saja melihatnya Tak ada yang larang kecuali mata-mata cemburu yang menatap tajam itu Aku takut lepas dan hilang Dari pagi hingga petang Dari punggung hingga lenyap Sinar mentari terhenti barang hitungan detik ia begitu takut melihat sabarmu direnggut malam Minggu pagi pukul sepuluh Air mata berbisik lembut mulai menyadari bebalnya hati yang dicinta Atau mungkin itu bukan hati Tapi sebuah khianat yang menjelma berpura-pura Hebat bukan main  Kau bersembunyi dibalik bahagia dan sabar Raga dan jiwamu sudah hilang akalnya Pura-pura memuja pada syukur di pernikahan Dari mana saja melihatnya Kini aku melarang kecuali tangan-tangan sabar yang tak henti berdzikir Aku sudah lepas dan hilang

Mencurah

Aku wanita yang sudah terlanjur diciptakan Dua puluh tahun silam pada malam-malam yang tersulam Aku terlalu redup untuk dapat terlihat Pun suaraku redam untuk dapat didengar Aku selayaknya wanita lain;  Ingin dihargai, dicinta  dan mencintai Perdetik ini, aku sudah sangat takut untuk mengemban sakit seorang diri Ceritaku melayang-layang tanpa tau arah Tak pernah ada telinga yang sudi mendengar Ceritaku memang basi dan membosankan Sejujurnya aku takut pada dunia yang tak sepaham-yang tak sepihak Aku takut menjadi minoritas pada lingkunganku sendiri Bahkan aku takut pada air mataku sendiri Dan aku sudah takut, takut telingaku bosan mendengar curahanku sendiri

Basuh

Teruntukmu yang semoga membaca ini Tidakkah kau lihat? Ada guratan rindu dan rasa ingin bersama yang telah mendarah beraliran doa Ingin aku membasuh luka-lukamu  yang tak laku-laku dibeli hilang Akan aku obati dengan hujan yang tak lagi menunjukan badai tapi pelangi indah yang mencipta sorai Aku meyakini sepenuh hati Tak ada cerita yang ditulis tidak sengaja Semua sudah terencana, sayang Termasuk canda dan tawa yang kau beri cuma-cuma dikala aku patah dan sayangnya selalu seperti itu Maafkan yang telah tumbuh, ia memang lahir  di waktu yang tidak tepat Biar aku yang mengemban sendiri Cinta ini memang bebal dan lantang pun amat menyebalkan

Lelakiku

setengah tahunku yang tertungkus lumus kau menyala menyinari ruangku meski aku bagai kuda tanpa surai kau selalu mampu menghidu  semua cita dan cintaku yang tenggelam sekiranya mampu,  akan kubalas sehimpun syair, yang berbicara semua tentang keindahanmu ada terima kasih yang akan kukirim untukmu adalah cinderamata sederhana  yang kecil dan malu-malu beri aku kesempatan membalas  dengan indah, sebuah senyum yang  membentuk surai kerinduan

Lagi

akan kupaksa jari ini menari bersama pena membentuk sehimpun kata  untuk sebuah senyum yang  lama tak ku jumpa untuk sebuah puisi yang lama tak menyala untuk sebuah pesan yang kulupa bagaimana bunyinya aku takut terus berumah pada sepi ia selalu merayakan semua yang semu menertawakan aku yang hanya  melihatmu dengan maya Tuan, sudahkah baca aku hari ini? ada yang ingin menjadikanmu penawar segala resah, segala sakit mari kita bunuh semua sepi  lalu menari bersama lembayung yang kusimpan rapi