Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Menjadi Dewasa

Sesuatu sedang mengubahku menjadi dewasa Ia adalah sebuah kekecewaan yang paling bersinar kuat saat ini Ia tak gentar diterpa badai maaf yang merengek seperti bayi Sesuatu pun sedang mengubahku  menjadi dewasa yang menyebalkan Ia adalah ego yang sedang tumbuh saat ini tak mendengar pun tak melihat celah kesempatan untuk balas dendam dengan indah Wahai umat Sapardi biarkan waktu yang fana ketegaranku harus abadi Cianjur, 29 Juli

Adalah Yang Tak Pernah Rampung

Saban hari kian berat beban yang ku pikul Tak ada yang pernah memahami setiap puisi yang terlahir dari tetesan air mata panas sebagai tinta dan teman cerita Saban hari raga kian lelah  oleh isakan yang terus membuat sesak pun kepala pening menjawab pertanyaan yang bahkan tak memiliki jawaban Hari ini ku ingin mendengar denyut nadi ini Sungguh ia tak memahami dunianya bahkan ia tak pernah terlahir dari rahim seorang Ibu

Ingin Menjadi Tua

Aku ingin menjadi tua hari ini yang sedang membaca anak-anakku kumpulan puisi yang sempat meregang diusia dini Bagaimana menjadi tua dan renta? yang tertatih menuju cerita masa lalu yang sempat rusak dan usang Aku ingin menjadi tua pagi ini juga kembali polos seperti anak kecil yang menggemaskan mungkin semestapun akan berpihak pada nenek tua bahagia yang terduduk manis lalu menunggu Izroil di beranda rumah

Setengah Juli Yang Ku Genggam

Setengah Juli sudah ku genggam Porak poranda di balik doa yang mengusang Setengah Juli sudah ku genggam Pun didekap ringkih menuju langit oleh tangan-tangan kotor ini Setengah Juli sudah ku genggam Ia tak dapat menahan air mata yang meluap akan pecah esok hari

Kh i a n at

Selama ini, yang aku sayangi justru membakar kesetiaan Kau yang baik, katanya Kau yang sopan dan santun tuturnya Kau yang khianat rupanya sudah menjelma menjadi buruk lakunya, bebal tingkahnya Lelaki itu baik nyatanya, kau hantam dengan realita Ia adalah luka yang paling terluka Kami turut berduka cita atas putusnya sebuah ikatan Terlebih aku takut menjadi tegar yang lemah Sudah air matanya jatuh berbisik lembut "Aku tetap menyayangimu" padahal hatinya dihancurkan bertubi-tubi Ia jatuh terluka dengan pintar dan kau melukainya tanpa akal Selama ini, ternyata kau suguhkan kami semangkuk khianat diatas meja makan

Dua

Dibalik tudung saji yang kau siapkan dini hari Ada amarah yang meluap pada suapan pertama Air mata tak akan jatuh ia terlalu kuat untuk menjadi tetesan air Aku tahu nama yang kau sembunyikan Dibalik fajar yang baru lahir Kakimu selalu berdusta Melangkah saja pada apa-apa yang kalut Meninggalkan meja makan yang bersusah hati Mau kemana gerangan tergesa-gesa? menjemput gerimis yang bebal dan genit Sedang aku gundah di atas meja makan menerka-nerka gerimis menjadi badai Wahai engkau bermahkota cinta pulanglah pada rumah sesungguhnya Jangan menjadi dua untuk esa yang hilang

Melukismu

Jemariku menari manja bersama puing bayang-bayang Mencoba melukis lekuk senyummu Ku sembunyikan dibalik puisi yang tak mampu lagi mengeja  Ku agung-agungkan lagi; Cinta dalam diam yang duduk di singgasana paling suci sekalipun Atau ini tak lebih sekadar diksi yang malu-malu menerka Sabar tumbuhkan di dadamu Jemariku kian menari lagi Saban hari melukis setiap inci dirimu