Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

Hari Rayamu

Akhir yang selalu ingin menjadi awal sebuah kelana Terhenti melihatmu lahir kembali Dari puisi-puisi yang kau pelihara kembali menjadi tumpuan sembuhkan luka Kau penulis abadi disini Ku dengar suaramu lagi Menyerukan wejangan yang ku rindu Meski tetap maya Kau selalu nyata Ku dengar lagi deru ombakmu ditengah lautan Tetap saja gemuruhmu tak pernah bisa ku gapai Apakah selembut nyanyianmu? Atau seindah puisimu? Wahai bujang nan aksa puisimu berbinar melahirkan lakumu cantik nan indah memberi warna abu-abuku Wahai bujang sang kelana Sejauh apapun langkahmu aku ingin kita sedekat bait-bait ini Sampai bait terakhir Ku kenang kau lahir kembali Akan ku ingat hari ini; hari rayamu Sampai bertemu di kandung kidungku Kelak ku bacakan sepenggal puisi yang terkagum-kagum padamu

Berkawan Dengan Sepi

Kakiku masih disini Berlari kencang di dunia sendiri Tak ada lawan, pun privasi Tapi aku tidak sendiri Elok dan ranum kesepian ini Meski gemuruh badai selalu menjerit Tetap merayakan sepi yang berdiri Semua bisu ramai ikut bernyanyi Aku tidak pernah sendiri Ada air mata dan luka yang berseri Pun aku sudah berkawan dengan sepi

Kau Bukan Untukku

Kau memang diciptakan bukan untukku Benci dan sayang dalam waktu bersamaan saling berebut tempat untuk menguasai ego pada aku yang lemah tak berdaya Kau memang diciptakan bukan untukku Direbutnya paksa empati Suara riuh badai itu kau tidak pernah tahu Kau memang tidak mengenalku

Mati

Seperti bunga yang berada di ruang tamu itu Ia sudah tak mengenal air lagi  semenjak orang-orang direnggut rasa pedulinya Pun ia tak sanggup lagi menahan hausnya Layu dan kering selalu menjadi kalimat andal Akhir kelana sang bunga mati  dikubur oleh ego masing-masing

Matamu

Denting jam pukul sepuluh menyegarkan luka yang kian meluruh sempat lupa tatap matamu yang tak pernah membuatku luluh Matamu mata-mata dalam hidupku apa tidak lelah terus membuntut? apa tidak lelah terus menuntut? apa tidak lelah terus mengguru? Matamu mata pisau lukaku gores sana-sini tanpa peluh terus mengagungkan cemburu dalam hatiku yang kian hancur

Terima Kasih Sudah Menjadi Kuat

Dalam raut wajahmu Ku mengeja sebuah khawatir dan peluh yang berebut selesai Tak akan pecah dalam tangis Dalam raut wajahmu Ku mengeja sebuah penyesalan dan luka masa lalu Tak akan menjerit malam ini Dalam lekuk senyummu Ku mengeja tulus yang kudus Menikmati berdiri dengan kaki sendiri Tak akan pernah letih Tak ada yang lebih kuat dari pundakmu Tak ada yang lebih kokoh dari hatimu Tidak apa-apa Hidu setiap tetes keringat Sebuah aroma juang yang tak pernah kau hirup 

Juni

Tuhan menciptakan Juni Di antara cinta yang tumbuh pada rahim semesta Tuhan menciptakan Juni Untuk menjadi rumah dan waktu Untuk menjadi kembali dan sebentar Pada dewasa yang penuh tanya Tak ada yang lebih kencang dari teriakan sang bayu ia mengembuskan Amin di sela-sela doa sang Juni Pun Tuhan menciptakan dusta yang membasahi Juni Belum sempat dibaca sajak dan jejak di dalamnya