Mati Enggan, Hidup Pun Susah

Sekitar awal Juni 2020, aku memaksakan diri untuk mendengarkan album pertamanya Nadin Amizah yang berjudul 'Selamat Ulang Tahun’. Rasa penasaranku lumayan tinggi karena saat itu beranda twitter-ku membicarakan album ini. Setelah kudengar semua, satu diantara sepuluh lagu di dalamnya, ada lirik yang membuatku ingin sekali bertanya pada si pemilik album tersebut, “Nadin, seberat apa menuju dewasamu?”.

Bagaikan jiwa yang terpisah, mati enggan hidup pun susah, begitu lirik awal dalam lagu ‘Mendarah’ milik Nadin. Ku ulang terus lagu tersebut. Aku berusaha memahami setiap liriknya. Aku ingin tahu apa yang ingin Nadin sampaikan. Sampai pada akhirnya, aku benar-benar paham sepenggal lirik dari lagu ‘Mendarah’ ini.

Saat itu, di pertengahan bulan Juni, entah aku sudah berbuat dosa apa, yang seharusnya menjadi Juni yang penuh harapan dengan bertambahnya usiaku yang ke-20, ini justru menjadi mimpi buruk dalam hidupku. Juni 2020 adalah Juni yang paling patah hati. Juni yang paling kelam dan menakutkan. Tapi semua permasalahan yang berat bagiku di Juni ini selesai hanya dalam waktu satu hari. Percaya? Bahkan aku yang melewatinya saja tidak percaya. 

Keluarga kecil kami saat itu sudah di ujung tanduk. Hampir tidak terselamatkan. Seperti bercanda, ya? Hari ini semua tangis dibuat pecah, besoknya seperti tidak terjadi apa-apa. Aneh? Ini lebih aneh dari corona yang tiba-tiba muncul menggemparkan satu bumi.

Belum selesai sampai disitu. Aku pikir semua permasalahan sudah berakhir. Ternyata kata ‘selesai’ di bulan Juni menjadi bom waktu yang meledak di bulan Juli. 'Tak utuh' yang aku takutkan terjadi. Iya, di kesempatan kedua, keluarga kecil kami pecah tidak terselamatkan. Aku merasa saat itu aku sudah hancur. Karena pada kenyataannya ini jauh lebih mengerikan dibanding apa yang kalian bayangkan. 

Pikiranku sangat kacau selama beberapa bulan. Sejujurnya aku tidak peduli dengan kuliah, bahkan aku tidak peduli lagi dengan napas yang ke-20 ini. Semua rasanya sia-sia saja.

Setiap hari, tangis, amarah dan penyesalan terus kudengar, bahkan tak hilang di kepala. Aku hampir depresi. Tidak ada yang tahu, setiap aku sendiri aku menangis keras tanpa suara. Semua emosi ku keluarkan dengan cara yang sesak dan ini menyakitkan. Rasanya aku ingin mati, tak ingin dan tak sanggup lagi untuk terus berhadapan dengan ego manusia. Tapi aku masih takut neraka.

Disini aku mengerti, Nadin, bagaimana rasanya berada di posisi; mati enggan, hidup pun susah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malam Panjang

Doa Paling Ikhlas